Dilema Perpustakaan Sekolah
Tujuan
pendidikan nasional di Indonesia tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 alinea
keempat, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Aplikasi dari tujuan tersebut di
sekolah diterapkan dalam berbagai visi dan misi yang ada. Antara satu sekolah
dengan sekolah lain tidaklah sama, namun memiliki tujuan akhir yang sama. Salah
satu sarana prasarana yang ada dalam mewujudkan tujuan tersebut adalah
perpustakaan sekolah.
Sebelum
adanya UU Nomor 43 tahun 2007 tentang perpustakaan, profesi pustakawan sekolah
dianggap sebagai profesi bagi guru buangan. Artinya guru yang kinerjanya kurang
bagus, atau guru yang jumlah jam mengajarnya sangat sedikit. Akibatnya menjadi
stigma bahwa kalau guru yang berprofesi sebagai pustakawan adalah guru yang “trouble
maker” atau biang kerok di sekolah. Realita ini membawa dampak bagi maju dan
tidaknya perpustakaan sekolah tersebut. Sebab yang mengelola perpustakaan
adalah para guru yang tidak memiliki pendidikan pustakawan, serta yang kurang
kompeten dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang guru. Dampaknya siswa
menjadi enggan untuk datang ke perpustakaan, karena suasana yang kurang yang
nyaman, koleksi yang tidak diperbaharui, dsb. Bahkan ada yang menganggap
perpustakaan sekolah sebagai gudang buku.
Namun dengan
lahirnya UU Nomor 43 tahun 2007 memberikan jaminan bahwa profesi pustakawan
adalah profesi yang mulia, yang sebenarnya tidak boleh sembarang orang
memegangnya. Ditambah ke depan perpustakaan sekolah harus memiliki standar yang
ditetapkan sesuai dengan Bab III pasal 11 UU No.43 tahun 2007, yaitu :
- Standar koleksi
- Standar sarana prasarana
- Standar pelayanan
- Standar tenaga perpustakaan
- Standar penyelenggaraan dan
- Standar pengelolaan
Dengan
dipenuhi semua kriteria di atas, diharapkan minat siswa dan guru untuk
berkunjung, membaca dan meminjam koleksi perpustakaan semakin tinggi. Yang
akibatnya pengetahuan dan wawasan siswa ataupun guru akan bertambah.
Agar
perpustakaan sekolah bisa menjalankan aktifitasnya maka, sekolah ataupun
madrasah mengalokasikan dana paling sedikit 5% dari anggaran belanja
operasional sekolah/madrasah atau belanja barang di luar belanja pegawai dan
belanja modal untuk pengembangan perpustakaan (Bab VII pasal 23 ayat 6). Tapi
dalam realita sehari-hari tidak/belum semua sekolah menerapkan apa yang ada
dalam UU tersebut. Tidak sedikit perpustakaan sekolah yang hidup segan mati pun
tak mau. Ruangan yang jauh dari standar, anggaran yang sangat terbatas,
kemampuan pengelola yang minim pengetahuannya. Sementara tidak ada sangsi
apapun dari pemerintah ataupun dinas yang berwenang bagi sekolah yang
belum menerapkan UU 43 tahun 2007 tersebut. Sekolah masih sibuk dengan
anggaran untuk pengembangan IT, sekolah berstandar nasional, standar
internasional. Padahal untuk menjadi sekolah yang bertandar
nasional/internasional salah satunya memiliki perpustakaan sekolah yang
standar, yaitu sesuai dengan UU No.43 tahun 2007.
http://kusdiyono.wordpress.com/2009/10/23/dilema-perpustaakan-sekolah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar